Investor saham RI akan segera merasakan perubahan aturan batas harga (auto rejection) di bursa. Ini seiring Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak memperpanjang kebijakan relaksasi di pasar modal yang berakhir pada 31 Maret 2023.
Salah satu perubahan kebijakan OJK adalah soal pemberlakuan secara bertahap kebijakan auto rejection bawah (ARB) simetris.
Informasi saja, di awal pandemi 2020, untuk meredakan kepanikan pelaku pasar seiring anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), Bursa Efek Indonesia (BEI) mengubah ketentuan batas ARB menjadi 7% untuk seluruh fraksi harga mulai 13 Maret 2020 hingga saat ini.
Praktis, semenjak itu, ada ketidaksimetrisan (asimetris) antara batas auto rejection atas (ARA) yang merentang dari 20% hingga 35% sesuai fraksi harga dengan ARB yang hanya 7%.
Sebelumnya, mulai awal 2017, BEI mulai memberlakukan auto rejection simetris, yakni persentase batas ARB menyesuaikan persentase batas ARA sesuai dengan fraksi harga.
Asal tahu saja, ARA dan ARB adalah batas maksimal kenaikan atau penurunan yang ditolak oleh sistem perdagangan BEI.
Ini artinya, investor angkatan 2020 hingga saat ini atau bisa disebut ‘angkatan Corona’ akhirnya akan mengalami batas ARA dan ARB simetris.
Karena itu, jika peraturan ARB saat ini sudah kembali ke masa pra-Covid-19, maka ketika seorang investor membeli satu saham di saat yang tidak tepat, maka investor tersebut dapat menderita kerugian hingga 50% lebih.
Hal ini akan terjadi apabila investor tersebut membeli saham di level ARA 35% dan saham tersebut longsor hingga ARByakni -35% sehingga sang investor menderita kerugian 51%.
Bisa Cuan Bagger
Namun, pemberlakuan kembali auto rejection simetris tidak harus melulu soal ‘keboncosan’.
Ini karena investor yang jeli dan mampu menangkap momentum berpeluang meraup keuntungan bagger (sekitar 100%) hanya dalam waktu sehari dari pembelian saham yang anjlok hingga batas ARB 35%.
Catatan saja, ini berarti khusus saham dengan fraksi harga di rentang Rp50 – Rp 200 per saham.
Ilustrasinya kira-kira begini. Andaikan suatu saham perusahaan A ditutup di harga Rp100/saham pada perdagangan Senin (6/3/2023).
Kemudian, selama jam perdagangan hari selanjutnya, Selasa (7/3), saham A tersebut tiba-tiba anjlok hingga sempat menyentuh batas ARB sebesar 35% ke harga Rp65/saham.
Nah, andaikan lagi, ada kalangan investor yang berspekulasi membeli saham A di harga ARB (Rp65/saham). Beberapa saat kemudian, pada hari yang sama, saham A tersebut ternyata akhirnya terlepas dari ‘kuncian’ ARB untuk kemudian meroket hingga batas ARA 35% ke Rp135/saham.
Itu artinya, apabila investor tersebut setia dengan saham A di atas, dia berpotensi meraup cuan bagger, sebesar 108%, dalam satu hari perdagangan.
Bahkan kejadian seperti bukan jarang terjadi di pasar modal. Skenario ini sering terjadi terutama di saham-saham dengan kapitalisasi pasar kecil.
Karenanya, pemberlakukan kembali auto rejection simetris memiliki potensi cuan dan boncos bagi investor.
Untuk itu, cara sederhana untuk menyikapi rencana pemberlakuan secara bertahap ARB simetris bagi trader dan investor adalah dengan memilih saham yang punya fundamental dan indikator teknikal yang baik.
Di samping itu, disiplin cut loss juga perlu terus diterapkan apabila pergerakan harga saham sudah tidak sesuai rencana awal.
Lima Kebijakan Normalisasi OJK di Bursa Saham
Setelah berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan di dalam POJK Kebijakan Covid-19, maka pengaturan dan kebijakan terhadap seluruh pelaku industri dan kegiatan di pasar modal kembali mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku dan peraturan Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
(tanpa relaksasi).
Sebagaimana kondisi sebelum pandemi Covid-19, dengan beberapa ketentuan sebagai berikut.
1. Kebijakan larangan short selling dilakukan normalisasi dengan mengacu kepada ketentuan Bursa Efek yang berlaku.
2. Kebijakan trading halt selama 30 menit dalam hal indeks harga saham gabungan (IHSG) mengalami penurunan mencapai 5% agar dilakukan normalisasi dengan mengacu kepada ketentuan bursa efek yang berlaku.
3. Kebijakan asymmetric auto rejection bawah agar dilakukan normalisasi secara bertahap dengan tetap memperhatikan asesmen kondisi pasar, dengan mengacu kepada ketentuan Bursa Efek yang berlaku.
4. Kebijakan pemendekan jam perdagangan serta jam operasional kliring dan penyelesaian agar dilakukan normalisasi dengan tetap menyesuaikan dengan jam layanan operasional Bank Indonesia real time gross settlement dan Bank Indonesia scripless securities settlement system.
“Bertahap kan. Terus jam jam perdagangan normal mengikuti jam kliring BI,” kata Inarno kepada CNBC Indonesia.
5. Kebijakan relaksasi jangka waktu berlakunya laporan keuangan dan laporan penilai yang digunakan dalam rangka aksi korporasi Emiten atau Perusahaan Publik yang selama ini ditetapkan diperpanjang menjadi paling lama 7 bulan, akan tetap diberlakukan dalam hal dokumen pernyataan pendaftaran, pernyataan aksi korporasi, laporan dan/atau keterbukaan informasi terkait aksi korporasi telah disampaikan oleh Emiten atau Perusahaan Publik sebelum tanggal 31 Maret 2023.