Perbankan di Amerika Serikat (AS) sudah merasakan dampak buruk kenaikan suku bunga yang sangat agresif. Kerugian besar diderita, Silicon Valley Bank (SBV) bahkan sampai kolaps.
Bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga sebesar 450 basis poin sejak Maret 2022 lalu menjadi 4,5% – 4.75%. Kenaikan tersebut menjadi yang paling agresif dalam empat dekade terakhir, dan tertinggi sejak 2007.
Kenaikan tajam dalam waktu singkat tersebut membuat imbal hasil (yield) obligasi AS (Treasury) melesat tajam.
Yield Treasury tenor 10 tahun misalnya, sebelum Maret 2022 masih berada di bawah 2%, setelah The Fed menaikkan suku bunga dengan agresif melesat ke atas 4% pada Oktober tahun lalu, dan saat ini berada di kisaran 3,5%.
Alhasil, perbankan yang membeli Treasury sebelum kenaikan suku bunga mengalami kerugian besar.
Untuk diketahui, pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Saat yield naik artinya harganya sedang turun, begitu juga sebaliknya.
Dengan kata lain, harga Treasury saat ini jauh lebih murah ketimbang satu tahun lalu.
Data dari Lembaga Penjamin Simpanan AS (FDIC) yang dikutip Financial Times menunjukkan dalam dua tahun sejak April 2020 sekitar US$ 4,2 triliun deposito masuk ke perbankan di Amerika Serikat. Dari nilai tersebut hanya 10% saja yang disalurkan menjadi pinjaman.
Sekitar US$ 2 triliun dari deposito tersebut diinvestasikan ke surat berharga, sebagaimana besar adalah obligasi. Sebelum pandemi, portofolio perbankan di AS ke surat berharga mencapai US$ 4 triliun, hanya dua tahun berselang nilainya meroket hingga 50%.
Namun, dengan harga Treasury yang jauh lebih murah perbankan AS menderita kerugian di atas kertas US$ 600 miliar atau sekitar Rp 9.200 triliun (kurs Rp 15.360/US$).
Namun, namanya di atas kertas artinya belum benar-benar terjadi. Perbankan bisa meredam kerugian yang diderita jika tidak menjual Treasury yang dimiliki hingga jatuh tempo. Sayangnya SVB tidak bisa menahan hingga jatuh tempo.
Kebutuhan modal membuatnya menjual Treasury, sehingga menderita kerugian sebesar US$ 1,8 miliar. Secara total, kerugian portofolio SVB bahkan dilaporkan mencapia US$ 15 miliar.
Bank raksasa di AS pun mengalami kerugian yang fantastis. Bank of America misalnya, mengalami kerugian portofolio hingga US$ 110 miliar. JPMorgan dan Wells Fargo juga rugi sekitar US$ 50 miliar.
Meski ada kasus kolaps SVB, bank-bank besar diperkirakan akan baik-baik saja.
“Kami pikir bank-bank besar akan baik-baik saja tahun ini. Tetapi itu (kasus SVB) tentunya menjadi hambatan,” kata Gerard Cassidy, analis perbankan di RBC Securities, sebagaimana dilansir Financial Times, Sabtu (11/3/2023).
Namun, saham perbankan diterjang sentimen negatif.
Pada perdagangan Senin waktu AS saham perbankan mengalami aksi jual masif, First Republic Bank menjadi yang paling parah setelah anjlok lebih dari 60%. Tidak hanya di Amerika Serikat, tetapi saham perbankan secara global, termasuk di Indonesia juga mengalami aksi jual hari ini.