RUU Dambaan Jokowi Ini Dijamin Bikin DPR & Koruptor Nangis

Mahfud MD (Detikcom Ari Saputra)

Transaksi mencurigakan senilai Rp 349 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terus bergulir. Bahkan, kekisruhan ini menimbulkan permasalahan baru, yakni persetujuan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana serta RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal (PTUK).

Sebagai catatan, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023. Sedangkan RUU PTUK tak kunjung ada perkembangan.

Hal ini meluncur dari mulut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) sekaligus Ketua Komite Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Mahfud MD saat rapat dengan Komisi III beberapa waktu lalu. Dalam debat di rapat tersebut, Mahfud menyampaikan langsung permohonan untuk meloloskan kedua RUU itu kepada Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul.

Adapun, Mahfud berkeyakinan bahwa kedua RUU ini dapat membantu memberantas korupsi hingga tindak pencucian uang.

“Saya ingin usulkan gini, sulit memberantas korupsi itu, tolong melalui Pak Bambang Pacul, Pak, undang-undang perampasan aset, tolong didukung biar kami bisa mengambil begini-begininya, Pak, tolong juga pembatasan uang kartal didukung,” ujar Mahfud saat rapat di Komisi III, dikutip Rabu (5/4/2023).

Sayangnya, permintaan Mahfud mental. Menurutnya, permohonan Mahfud itu bisa-bisa saja berjalan mulus di DPR asalkan mendapat restu dari para ketua umum partai politik di parlemen. Karenanya, ia meminta Mahfud melobi para Ketum Parpol.

“Pak Mahfud tanya kepada kita, ‘tolong dong RUU Perampasan Aset dijalanin’. Republik di sini, nih, gampang, pak, di Senayan ini. Lobi-nya jangan di sini, pak. Ini di sini nurut bosnya masing-masing,” kata Bambang.

Artinya, memang jalan yang dilewati tidaklah mudah. Harus banyak yang memiliki keinginan untuk ‘mengusahakan’ terlebih dahulu di lingkungan parpol.
Menurut Bambang, ini karena para anggota DPR, termasuk di Komisi III mengambil sikap sesuai perintah dari masing-masing pimpinan partai politiknya. Tanpa adanya persetujuan dari para petinggi partai, legalitas RUU untuk disahkan katanya sulit tercapai.

Bambang mengungkapkan, Presiden Joko Widodo juga pernah menanyakan soal dua RUU ini. Seperti diketahui, Presiden berharapp kedua RUU ini bisa diloloskan DPR, mengingat Indeks Persepsi Korupsi RI yang anjlok tahun lalu.

Dia pun mengungkapkan secara terang-terangan bahwa kedua RUU itu ditolak karena masih menyimpan polemik. Misalnya, RUU Pembatasan Uang Kartal bisa merepotkan para anggota dewan saat kampanye.

“Pak Presiden, kalau pembatasan uang kartal pasti DPR nangis semua, Kenapa? Masa dia bagi duit harus pakai e-wallet. E-wallet-nya cuman Rp20 juta lagi. Enggak bisa Pak. Nanti mereka nggak jadi lagi. Loh, saya terang-terangan ini,” ujarnya.

kalangan pegiat korupsi justru mendukung dua RUU itu segera dibahas supaya pemberantasa korupsi di Indonesia bisa cepat dilaksanakan dan proses hukumnya tidak berlama-lama. Diantaranya yang mendorong percepatan pembahasannya adalah Indonesia Corruption Watch (ICW).

“Jadi RUU Perampasan Aset Tindak Pidan itu adalah salah satu RUU yang dari lama ICW dorong pembahasan dan pengesahannya. selain juga revisi UU Tipikor dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal,” ucap Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Lalola Easter Kaban kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu(5/4/2023).

Khusus untuk RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, menurut Lola saat dalam bentuk draf pada 2015 sudah cukup kuat untuk menyita aset-aset pelaku tindak kejahatan yang mencuci uangnya, bukan hanya koruptor tapi termasuk pelaku terrorisme, narkotika, pencurian, hingga penggelapan.

“Kenapa itu perlu didukung pembahasan dan pengesahannya, karena RUU ini akan mempercepat proses perampasan dan pengembalian aset hasil tindak pidana, salah satunya korupsi. Jadi bukan hanya untuk Tipikor berlakunya,” ujar Lola.

Berdasarkan draf yang sudah beredar pada 2015, ia mengatakan RUU Perampasan Aset ini bisa menjadikan aset-aset dalam bentuk kendaraan, properti, serta harta benda lainnya, menjadi objek yang mampu dirampas negara jika diperoleh berdasarkan hasil tindak pidana atau kejahatan.

Akan tetapi, Lola mengingatkan draf terbaru belum dibuka aksesnya oleh pemerintah, sehingga bisa saja terjadi penguatan lebih baik atau malah membuka lebar pelemahan terhadap RUU itu. Kendati begitu, Lola memastikan berdasarkan draf pada 2015, RUU ini turut mempercepat proses hukum perampasan aset hasil tindak pidana.

Dia mencontohkan, selama ini aset-aset hasil tindak pidana korupsi atau tipikot harus nunggu keputusan inkrah atau berkekuatan hukum tetap supaya bisa dirampas oleh negara. Prosesnya bisa tahunan, karena bisa digugat oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan ketika proses hukum masih berjalan.

Sementara itu, dengan RUU Perampasan Aset ini menurutnya aset-aset hasil tindak pidana bisa langsung dirampas pada saat keputusan hasil tingkat pertama, yaitu keputusan di pengadilan negeri. Setelah itu, tak akan diberikan kewenangan untuk digugat.

“Prinsipnya dia bisa memotong waktu proses perampasan asetnya. Di draf RUU 2015 kalau enggak salah prosesnya final di tingkat pertama saja, enggak bisa dibanding, enggak bisa dikasasi, pokoknya enggak ada upaya hukumnya,” tutur Lola.

“Satu-satunyanya upaya yang bisa dilakukan adalah semacam pengajuan keberatan dan klarifikasi yang bisa dilakukan oleh pemilik aset atau pihak ketiga lain yang beritikad baik, kurang lebih begitu. Mungkin memakan waktu 6 bulan, prinsipnya negara vs aset,” tegas Lola.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*